-Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal shalih, serta nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (Q.s. Al-Asr: 1-3)-
Kita telah berikrar bahwa kita hidup dalam dakwah. Hidup dalam dakwah itu artinya menghidupkan iklim tausiyah, menyuburkan suasana saling memberi nasihat, bukan?
Sahabatku, ku tahui semangat dakwahmu pada mad'u mu sungguh begitu menggelora, sungguh tak ada lelahnya. Mungkin itu juga yang kau lihat pada diriku.
Tapi ingin kuajak dirimu bersepakat bahwa kita sungguh lupa untuk saling berdakwah, engkau padaku dan sebaliknya. Seolah 'dai' atau 'aktivis' yang sering tersematkan pada kita menjadi dinding penghalang untuk kita saling menasihati.
Padahal bukankah kita sama seorang manusia seperti mad'u kita yang lain. Yang sering alpa dan khilaf. Bahkan mungkin kita (saya) lah yang tak lebih baik dari mereka. Lalu bukankah artinya kita juga seorang mad'u... Bukankah kita sebenarnya hanyalah seonggok daging yang sering melakukan dosa namun Allah menutupi aib kita... karena apa? karena dakwah kita pada orang lain? BUKAN! tetapi itu semata karena keMaha-Rahmannya Allah...
Jika kita seperti ini terus, duhai sahabat fillah... relakah kita jika pelan-pelan kebenaran tercabut dari saudara kita karena akibat salah satu dari kita melalaikan saudaranya yang sedang jatuh.
Mulai sekarang pandanglah aku, pandanglah saudara fillahmu yang mungkin sedang melemah imannya, yang mungkin sedang lalai menuntaskan amalan-amalan yauminya, yang mungkin sedang berlebihan pada hal-hal yang mubah, yang mungkin sedang asyik dengan aktivitas yang sia-sia, yang mungkin... yang mungkin... ah kita pastilah sudah tahu hal-hal apa yang sudah bertentangan dengan syariat dan nurani kita...
Pandanglah lalu nasihatilah... masing-masing kita adalah layak untuk memberikan nasihat pada orang lain.
Yang pertama: bahkan kepada pemimpin sekalipun ketika ia bermaksiat, sedang saat itu pula kita berada dalam kebenaran... bukankah itu termasuk dalam salah satu nasihat yang sangat dianjurkan oleh syariat kita?
Yang kedua: bahkan juga oleh seorang 'ahli' maksiat pun jika ia mengatakan yang benar maka perkataannya mau tidak mau harus kita terima bukan, untuk yang ini ingatkah kata-kata imam Syafi'i bahwa diantara kebaikan lisan bisa terselip unsur kesalahan begitu sebaliknya bahwa diantara keburukan lisan bisa terselip kebaikan. Dan itulah kepekaan kita diuji untuk mau menerima pendapatnya, nasihatnya...
Jadi apa alasan kita enggan untuk memberi nasihat? Merasa bak sebagai yang pertama atau yang keduakah kita tetap harus selalu mengingatkan yang lupa, menegur yang khilaf, meluruskan yang bengkok, membetulkan yang keliru, dan menunjukkan yang sedang sesat...
So, jangan biarkan tali-tali kebenaran saudara fillahmu terlepas satu-persatu, perlahan-lahan... Apalagi jika kita tahu sedang ia tak tahu tali ikatannya melemah, mengendor... Apalagi jika kita tahu bahwa tak mampu ia kencangkan ikatannya tanpa bantuan, so? apalagi yang menahan hati kita untuk tergerak?
*saat menulis ini, sungguh diri dalam keadaan rapuh, sungguh diri rindu akan teguranmu, sahabat... namun artikel ini ditulis bukan untukmu, saudari-saudari fillahku, ini khususnya untukku,,, agar saat semangat-komitmen-keimananku telah kencang kembali, ku tak lupa untuk mengajakmu bersemangat pula, ku bisa memberimu motivasi seperti dikala seorang adik di rumahquran memintaku, "kak, kasih aku motivasi dong" :)
0 komentar:
Posting Komentar